SUNDALANA adalah jurnal yang lahir atas inisiatif mendiang Ajip Rosidi dan kawan-kawan di lingkungan kerja Pusat Studi Sunda, yayasan kecil di Bandung yang didirikan sebagai pelaksanaan ama- nat Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-1 yang berlangsung pada 2001. Dalam pertimbangan para pengurus PSS waktu itu perlu ada media tersendiri untuk mewadahi hasil kegiatan meneliti dan memikirkan berbagai segi kebudayaan Sunda.
Nama sundalana berasal dari Ajip sendiri dan mencerminkan harapannya. Dalam bahasa Sunda, lana dapat diartikan “langgeng” atau “abadi”. Di balik nama itu terkandung harapan bahwa kebudayaan Sunda bakal terus berjalan, tidak cepat pudar oleh berlalunya waktu. Orang Sunda mungkin saja ber- umur pendek tapi kebudayaannya mudah-mudahan berumur panjang selama pengetahuan mengenai kebudayaan itu tersedia di perpustakaan dan orang masih memproduksi pengetahuan tersebut melalui kegiatan meneliti dan menulis. Menerbitkan jurnal, selain membuka perpustakaan, adalah kegiatan utama PSS.
Keterkaitan historis antara agenda PSS dan amanat KIBS menimbulkan konsekuensi pada rumusan misi Sundalana sebagai media publikasi. Tema besar yang diusung oleh KIBS ke-1 adalah “pewarisan nilai-nilai budaya Sunda”. Dalam kerangka tematik seperti itu, dengan sedih diketahui bahwa masih banyak kekayaan ruhani masyarakat Sunda, khususnya yang terdapat dalam sejumlah manuskrip kuna, yang sejauh itu belum sempat diteliti oleh para ahlinya yang tidak banyak sehingga masyarakat luas tidak mengetahui isinya. PSS memandang perlu ikut mendorong kegiatan pembacaan, pengalihaksaraan, penerjemahan, dan publikasi pengetahuan Sunda kuna. Untuk mengatasi masalah tersebut, kesepakatan pernah terjalin antara PSS dan pemerintah Provinsi Jawa Barat: pemerintah akan menyediakan dana sekitar Rp 900 juta dan PSS akan menyelenggarakan riset filologi untuk sekitar 100 manuskrip kuna yang tersimpan di beberapa tempat. Sayang sekali, untuk melaksanakan rencana kerja tersebut ternyata jajaran birokrasi pemerintah beserta lingkarannya mesti dilibatkan dan dari pihak PSS timbul kekhawatiran bakal terpangkasnya dana untuk hal-ihwal di luar tujuan pokok, sehingga PSS terpaksa mengembalikan dana tersebut kepada pemerintah, dan kesepakatan itu pun dibatalkan. Sebegitu jauh, realisasi agenda tersebut mengandalkan kesanggupan PSS sendiri atau bantuan pihak-pihak lain yang betul-betul memahami masalah filologi. Dengan segala rintangannya, di dalam setiap publikasi Sundalana selalu disediakan ruangan tersendiri untuk mewadahi hasil riset di bidang filologi.
Selain misi konservasi demikian, Sundalana juga mengemban misi untuk memperluas fungsi sosial bahasa Sunda, yakni bahasa ibu bagi mayoritas orang Sunda. Bahasa Sunda bukan sekadar bahasa per- gaulan yang dipakai di lingkungan intim untuk keperluan nonformal, melainkan juga dapat diandalkan di lingkungan publik untuk keperluan formal. Itu sebabnya Sundalana mengambil pendekatan kebahasaan yang terbuka: para kontributor dapat menulis dalam bahasa Sunda selain dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan kata lain, bahasa Sunda dapat pula difungsikan sebagai bahasa keilmuan.
Dalam tahun-tahun permulaan kegiatannya, PSS menumpang di kantor redaksi penerbitan PT Kiblat Buku Utama di Jalan Kliningan, Bandung. Beberapa tahun kemudian, PSS bisa menyewa sebuah rumah di Taman Kliningan, Bandung, tidak jauh dari Kiblat, untuk merealisasikan layanan perpustakaan, kerja keredaksian Sundalana, kegiatan sawala, dan sebagainya. Prof. Edi S. Ekadjati, sejarawan dan Ketua PSS yang ikut mencari tempat tersebut, tidak sempat memasuki ruang kerjanya di sana karena ia berpulang sebelum kantor di Taman Kliningan dapat ditempati. Sekian tahun kemudian, dengan dana pribadi, Ajip Rosidi membeli sebuah rumah tua di Jalan Garut No 2, Bandung, yang setelah renovasi menjadi tempat kerja PSS beserta perpustakaan dan redaksi Sundalana-nya.
Sundalana terbit dua kali setahun dengan Ajip Rosidi sebagai pemimpin redaksinya dan saya sendiri sebagai redaktur pelaksananya. Dalam periode antara masa kerja di Jalan Kliningan dan masa kerja di Jalan Garut, PSS dapat menerbitkan Sundalana sebanyak 13 nomor.
Sebetulnya, sebutan “jurnal” buat Sundalana perlu diberi catatan tersendiri. Dalam hal ini dapat diperhatikan deskripsi Ajip sendiri dalam pengantar untuk Sundalana nomor perdana yang terbit pada Agustus 2003 mengenai sifat publikasi keilmuan yang redaksinya ia pimpin. Setelah menekankan bahwa salah satu garapan utama PSS adalah “menerbitkan jurnal atau monografi ilmiah mengenai kebudayaan Sunda—termasuk budaya Cirebon dan Betawi—“, ia mengatakan sebagai berikut:
'
Sundalana akan merupakan serial penerbitan ilmiah mengenai kebudayaan Sunda yang tidak terikat oleh titimangsa terbit—karena itu bukan merupakan majalah atau jurnal—namun akan diusahakan supaya paling tidak terbit dua judul setahun. Jalan ini kami tempuh karena kami hendak bertindak realistis. Pertama, tidaklah mudah mencari karangan ilmiah yang bermutu tentang budaya Sunda— walaupun termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Kedua, minat masyarakat akan majalah atau jurnal seperti itu—baik di kalangan orang dan sarjana Sunda maupun di luarnya, termasuk lembaga- lembaga Indonesianis di luar negeri—akan sangat amat terbatas sekali, sehingga penjualannya akan sangat lambat. Dengan tidak mengikat diri kepada titimangsa, maka penerbitan ini akan dapat dikonsumsi sepanjang masa. Dan karena sifatnya, memang isi serial Sundalana tidak akan cepat menjadi basi.'
Dengan kata lain, dalam substansinya Sundalana memang merupakan “jurnal atau monografi ilmiah” tetapi dalam usaha publikasinya merupakan buku seri. Itu sebabnya Sundalana dicatatkan sebagai buku (dengan ISBN), bukan jurnal (dengan ISSN). Hal ini menimbulkan keuntungan tersendiri dalam distri- businya melalui jaringan toko buku sejauh itu. Masa tayang Sundalana pada rak buku cenderung lebih lama daripada masa tayang jurnal. Bahkan bilamana perlu, nomor Sundalana tertentu bisa saja dicetak ulang.
Dalam beberapa tahun terakhir, oleh karena satu dan lain hal, publikasi Sundalana tidak begitu lancar. Target terbit dua kali setahun tidak terpenuhi. PSS sendiri beberapa kali mengalami pergantian pengurus. Sepeninggal Edi, PSS diketuai oleh ahli linguistik Prof. A. Chaedar Alwasilah. Sepeninggal Chaedar, peran ketua PSS dipegang oleh pakar hukum udara Prof. E. Saefullah Wiradipradja. Dari Saefullah, yang mengundurkan diri terutama karena pertimbangan kesehatan, peran ketua PSS beralih kepada Dr. Burhanudin Abdullah. Pada 2020 PSS harus menyaksikan kepergian salah seorang perintisnya yang utama: Ajip Rosidi.
Sepeninggal Ajip, di lingkungan kerja PSS ada ikhtiar untuk melanjutkan kegiatan, terutama dalam layanan perpustakaan dan publikasi jurnal. Khusus menyangkut kegiatan yang disebutkan belakangan, PSS mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran yang belakangan mendirikan Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda dengan diketuai oleh Prof. Ganjar Kurnia, mantan rektor Unpad yang bukan nama asing bagi PSS. Kebetulan, PDPBS Unpad berencana menerbitkan jurnal kebudayaan Sunda. Sehubungan dengan rencana tersebut, Ganjar dan kawan-kawan mengambil sebuah keputusan bijak: lebih baik melanjutkan jurnal yang sudah ada, yakni Sundalana, daripada harus memulai sebuah jurnal baru.
Dengan itu, perjalanan Sundalana dapat dilanjutkan antara lain dengan menegaskan jati dirinya sebagai jurnal kebudayaan Sunda dan mempersegar jajaran redaksinya dengan melibatkan para sarjana dan peneliti dari generasi yang lebih muda. Selaras dengan pergeseran platform komunikasi dari media cetak ke media digital, Sundalana hadir dalam format digital pula. Jalan baru terbuka sudah.